A. KAWALI IBUKOTA BARU
1. Pusat Pemerintahan berpindah-pindah
Bila rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tumbuh
secara bersangsur-angsur, ini mudah dipahami karena banyaknya kelompok etnik
yang menjadi penduduk Indonesia. Rasa kesatuan etnik Sunda di Jawa Barat pun
tidak tumbuh serempak, melainkan berangsur-angsur.
Telah dikemukakan bahwa keturunan Manarah yang laki-laki
terputus sehingga pada tahun 852 Tahta Galuh jatuh kepada keturunan Banga,
yaitu Rakeyan Wuwus yang beristrikan puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik
perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan
kedudukan iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan gelar PRABU DARMARAKSA BUANA.
Kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat
diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai
orang Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 - 895) dibunuh oleh seorang menteri
Sunda yang fanatik.
Karena peristiwa itu, tiap Raja Sunda yang baru selalu
memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat
pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari
barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa
Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang
pindah tempat.
Ayah Sri Jayabupati berkedudukan di Galuh, Sri Jayabupati di
Pakuan, tetapi puteranya berkedudukan di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja
Sunda ke-22 dan ke-23) memerintah di Pakuan. Raja ke-24 memerintah di Galuh dan
raja ke-25, yaitu PRABU GURU DARMASIKSA mula-mula berkedudukan di Saunggalah,
kemudian pindah ke Pakuan. Puteranya (PRABU RAGASUCI) berkedudukan di
Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.
[Proses kepindahan seperti ini memang merepotkan (menurut
pandangan kita), namun pengaruh positifnya jelas sekali dalam hal pemantapan
etnik di Jawa Barat. Antara Galuh dengan Sunda memang terdapat kelainan dalam
hal tradisi. Anwas Adiwijaya (1975) mengungkapkan bahwa orang Galuh itu
"orang air", sedang orang Sunda "Orang Gunung". Yang satu
memiliki "mitos buaya", yang lain "mitos harimau".]
[Di daerah Ciamis dan Tasikmalaya masih ada beberapa tempat
yang bernama PANEREBAN. Tempat yang bernama demikian pada masa silam merupakan
tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh, mayat harus
"dilarung" (dihanyutkan) di sungai. Sebaliknya orang KANEKES yang
masih menyimpan banyak sekali "sisa-sisa" tradisi Sunda, mengubur
mayat dalam tanah. Tradisi "nerebkeun" di sebelah timur dan tradisi
"ngurebkeun" di sebelah barat (membekas dalam istilah PANEREBAN dan
PASAREAN)].
[Peristiwa sejarah telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik
ini menjadi satu "Orang Air" dengan "Orang Gunung" itu
menjadi akrab dan berbaur seperti dilambangkan oleh dongen "SAKADANG KUYA
jeung SAKADANG MONYET" (kura-kura dan monyet). Dongeng yang khas Sunda ini
sangat mendalam dan meluas dalam segala lapisan msyarakat, padahal mereka tahu,
bahwa dalam kenyataan sehari-hari Monyet dan Kuya (kura-kura) itu bertemu saja
mugkin tidak pernah (di Kebun Binatang pun tidak pernah diperkenalkan).
Dalam abad ke-14 sebutan SUNDA itu sudah meliputi seluruh
Jawa Barat, baik dalam pengertian WILAYAH maupun dalam pengertian ETNIK.
Menurut PUSTAKA PARATWAN i BHUMI JAWADWIPA, parwa I sarga 1, nama Sunda mulai
digunakan oleh Purnawarman untuk Ibukota Tarumanagara yang baru didirikannya
(SUNDAPURA). Idealisme kenegaraan memang terpaut di dalamnya karena SUNDAPURA
mengandung arti KOTA SUCI atau KOTA MURNI, sedangkan GALUH berarti PERMATA atau
BATU MULIA (secar kiasan berarti GADIS)].
2. Peran bergeser ke timur
Dalam abad ke-14 di timur muncul kota baru yang makin
mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu KAWALI (arti Kuali atau
Belanga). Lokasinya strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung,
Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV ini Galuh selalu disangkutpautkan dengan
Kawali. Dua orang Raja Sunda dipusarakan di WINDURAJA (sekarang bertetangga
desa dengan Kawali).
Sebenarnya gejala pemerintahan yang condong ke timur sudah
mulai nampak sejak masa pemerintahan PRABU RAGASUCI (1297 - 1303). Ketika naik
tahta menggantikan ayahnya (PRABU DARMASIKSA), ia tetap memilih SAUNGGALAH
sebagai pusat pemerintahan karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan
sebagai raja di timur. Tetapi pada masa pemerintahan puteranya PRABU
CITRAGANDA, sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
[RAGASUCI sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukanya
itu dijabat kakaknya RAKEYAN JAYADARMA. Menurut PUSTAKA RAJYARAJYA i BHUMI
NUSANTARA parwa II sarga 3, JAYADARMA adalah menantu MAHISA CAMPAKA di Jawa
Timur karena ia berjodoh dengan DYAH SINGAMURTI alias DYAH LEMBU TAL. Mereka
berputera SANG NARARYA SANGGRAMAWIJAYA atau lebih dikenal dengan nama RADEN
WIJAYA (lahir di PAKUAN). Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal
tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya
diantarkan ke Jawa Timur. Dalam BABAD TANAH JAWI, Wijaya disebut pula JAKA
SUSURUH dari PAJAJARAN yang kemudian menjadi Raja MAJAPAHIT yang pertama.
Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada
di Jawa Timur]
Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci
sebagai calon ahli warisnya yang bernama CITRAGANDA. Permaisuri Ragasuci adalah
DARA PUSPA (Puteri Kerajaan Melayu) adik DARA KENCANA isteri KERTANEGARA.
Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat,
untuk sementara ia menjadi raja daerah selama 6 tahun di Pakuan (ketika itu
Raja Sunda dijabat ayahnya di Saunggalah). Dari 1303 sampai 1311, Citraganda
menjadi Raja Sunda di Pakuan dan ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
PRABU LINGGA DEWATA (putera Citraganda) mungkin berkedudukan
di Kawali. Yang pasti, menantunya PRABU AJIGUNA WISESA (1333 - 1340) sudah
berkedudukan di Kawali dan sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di
sana. Bisa disebut bahwa tahun 1333 - 1482 adalah JAMAN KAWALI dalam sejarah
pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal 5 orang raja.
Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah
prasasti batu peninggalan PRABU RAJA WASTU yang tersimpan di "ASTANA
GEDE" Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta
Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya disebut SURAWISESA yang
dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan
ketenangan hidup).
Prabu Raja Wastu atau NISKALA WASTU KANCANA adalah putera
PRABU MAHARAJA LINGGA BUANA yang gugur di medan BUBAT dalam tahun 1357. Ketika
terjadi PASUNDAN BUBAT usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah
satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya meninggal.
Pemerintahan kemudian diwakili oleh pamannya MANGKUBUMI SURADIPATI atau PRABU
BUNISORA (ada juga yang menyebut PRABU KUDA LALEAN, dalam BABAD PANJALU disebut
PRABU BOROSNGORA. Selain itu ia pun dijuluki BATARA GURU di Jampang karena ia
menjadi pertapa dan resi yang ulung). Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger
Omas.
Setelah pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus
juga mertuanya, Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia
23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah LARA SARKATI puteri Lampung. Dari
perkawinan ini lahir SANG HALIWUNGAN (setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda
bergelar PRABU SUSUKTUNGGAL). Permaisuri yang kedua adalah MAYANGSARI puteri
sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinan ini lahir NINGRAT
KANCANA (setelah menjadi penguasa Galuh bergelar PRABU DEWA NISKALA).
Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua
diantara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik
kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana.
[JAYADEWATA, putera Dewa Niskala], mula-mula memperistri AMBETKASIH (puteri KI
GEDENG SINDANGKASIH), kemudian memperistri SUBANGLARANG (puteri KI GEDENG TAPA
yang menjadi Raja Singapura). [Subanglarang ini keluaran pesantren Pondok QURO
di PURA, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid SYEKH HASANUDIN yang menganut
MAHZAB HANAFI. Pesantren Qura di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa
pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang belajar di situ selama 2 tahun. Ia
adalah nenek SYARIF HIDAYATULLAH] Kemudian Jayadewata mempersitri KENTRING
MANIK MAYANG SUNDA puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan
Raja Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan]
3. Ibukota kembali ke Pakuan
Kejatuhan PRABU KERTABUMI (BRAWIJAYA V) Raja Majapahit tahun
1478 telah mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rombongan pengungsi dari
kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah
seorang diantaranya ialah RADEN BARIBIN saudara seayah PRABU KERTABUMI. Ia
diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan
RATNA AYU KIRANA (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang istrinya), adik
RADEN BANYAK CAKRA (KAMANDAKA) yang telah jadi raja daerah di Pasir Luhur.
Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi
yang kebetulan telah bertunangan. [Dalam Carita Parahiyangan disebutkan
"estri larangan ti kaluaran". Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton
Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut
"perundang-undangan" waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak
boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia
atau membatalkan pertunangan]
Dengan demikian, Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan
sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai raja. Kehebohan pun tak
terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala) mengancam
memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah dengan
keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri.
Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya
Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta
Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata). Dengan peristiwa yang
terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam
satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai
"Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan
pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat
pemerintahan
Bersambung...
Tidak ada komentar :
Posting Komentar