2. Surawisesa (1521 - 1535)
Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya
dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita
Parahiyangan dengan sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran"
(perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia
melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang
berkaitan dengan
hal ini.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa
Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana
Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil
kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513
yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah
kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke
Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Pajajaran dan
Portugis mengenai perdagangan dan keamanan. [Ten Dam menganggap bahwa
perjanjian itu hanya lisan, akan tetapi sumber portugis yang kemudian dikutip
Hageman menyebutkan "Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in
dubbel, waarvan elke partij een behield" (Dari perjanjian ini dibuat
tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu) Menurut Soekanto
(1956) perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522]
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan
mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang
datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang
keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai
dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk
ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351
kuintal).
Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan TRENGGANA
(Sultan Demak III). Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara
sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda
yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis,
maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak
terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan FADILLAH
KHAN yang menjadi Senapati Demak. [Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun,
janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda
Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden
Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah
masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya BARKAT ZAINAL ABIDIN
adalah adik NURUL AMIN (kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah). Selain itu
Fadillah masih terhitung cucu SUNAN AMPEL (ALI RAKHMATULLAH) sebab buyutnya
adalah kakak IBRAHIN ZAINAL AKBAR ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah
mertua Raden Patah (Sultan Demak I).
Barros menyebut Fadillah dengan FALETEHAN. Ini barangkali
lafal orang Portugis untuk Fadillah Khan. Tome Pinto menyebutnya TAGARIL untuk
KI FADIL (julukan Fadillah Khan sehari-hari).
Kretabhumi I/2 menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan
(disebut juga WONG AGUNG PASE) terletak di puncak Gunung Sembung berdampingan
(di sebelah timurnya) dengan makam Susushunan Jati. Hoesein Djajaningrat (1913)
menganggap Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri baru
muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita
Parahiyangan menyebut Fadillah dengan ARYA BURAH]
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan
Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk
Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten
yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan
pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta
keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Hasanudin
kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526).
Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut
pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang
bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul
mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan MERIAM yang justru
tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang
ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India.
Keberangkatan ke Sunda dipersipakan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang
dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa
ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di
Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju
Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan
dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao
pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa
Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin
(dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat
mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan
menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan
korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun
1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan
tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan,
maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada
pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat,
tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau bernama
pula HAJI ABDULLAH IMAN). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa.
Dengan demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran
menjadi hilang.
[Cirebon sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat
dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah
akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana
tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon pun
turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon
terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari]
Perang Cirebon - Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang
satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut.
Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian
timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran dengan Galuh
terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon
terjadi berkat bantuan PASUKAN MERIAM Demak tepat pada saat pasukan Cirebon
terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi "panah besi yang
besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta
memuntahkan logam panas". Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena
meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga,
benteng terakhir Kerajaan Galuh.
SUMEDANG masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan
dinobatkannya PANGERAN SANTRI menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober
1530. [Pangeran Santri adalah cucu PANGERAN PANJUNAN, kakak ipar Syarif
Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah SYEKH DATUK KAHFI pendiri pesantren
pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan SATYASIH,
Pucuk Umum Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon]
Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon
merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat
dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik
dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai
perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri
sebagai negara merdeka. [Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah
perjanjian, Pangeran PASAREAN (Putera Mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan
Hasanudin (Bupati banten)]
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada
Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa
pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan kerajaannya.
Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai
utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000
orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan
daerah inti kerajaannya.
Dalam suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran
ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk
menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga sekaligus
menunjukkan penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah
Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun
setelah ayahnya wafat, ia membuat SAKAKALA (tanda peringatan buat ayahnya).
Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan
Pajajaran. ITULAH PRASASTI BATUTULIS yang diletakkannya di KABUYUTAN tempat
tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa LINGGA BATU ditanamkan. Penempatannya
sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat.
Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat
diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si
ayah. Demikianlah, BATUTULIS itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri
LINGGA BATU. Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya
meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi ASTATALA ukiran
jejak tangan, yang lainnya berisi PADATALA ukiran jejak kaki. [Mungkin
pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara SRADA yaitu
"penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja
wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas
hubungannya dengan dunia materi].
[Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan
sebutan GURU GANTANGAN atau MUNDING LAYA DIKUSUMA. Permaisurinya, KINAWATI,
berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah PASAR MINGGU
sekarang. Kinawati adalah puteri MENTAL BUANA, cicit MUNDING KAWATI yang
kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung.
Diantara dua kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan
(dahulu KAUNG PANDAK). Di Muara Beres in bertemu silang jalan dari Pakuan ke
Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang
dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman dahulu merupakan titik silang.
Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan
disebut JALAN BANTEN LAMA ("oude Bantamsche weg")].
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun
setelah ia membuat prasasti sebagai SAKAKALA untuk ayahnya, ia wafat dan
dipusarakan di PADAREN. Diantara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan
ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babadd maupun pantun. [Babad
Pajajaran atau Babad Pakuan sebenarnya mengisahkan "petualangan"
Surawisesa (Guru Gantangan) dengan gaya cerita Panji].
Bersambung
Tidak ada komentar :
Posting Komentar