![]() |
Rustam Effendi Sastrawijaya |
Skks cianjur//Menurut versi Sejarah Cianjur, Sanghyang Borosngora dikenal
sebagai Prabu Jampang Manggung. Nama aslinya adalah Pangeran Sanghyang
Borosngora, ia putera kedua Adipati Singacala (Panjalu) yang bernama Prabu
Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri adalah putera Sedang Larang, Sedang Larang
adalah putera Ratu Prapa Selawati.
Sanghyang Borosngora adalah putera Prabu Cakradewa dari
permaisuri yang bernama Ratu Sari Permanadewi. Ratu Sari Permanadewi adalah
putera keenam dari Adipati Wanaperi Sang Aria Kikis, jadi Sanghyang Borosngora
adalah saudara misan Dalem Cikundul.
Sanghyang Borosngora mempunyai empat orang saudara dan pada
usia 14 tahun ia diperintah sang ayah untuk berziarah ke tanah suci Mekkah.
Pada bulan Safar 1101 H Sanghyang Borosngora berangkat ke Mekkah yang lama
perjalanannya adalah 6 tahun.
Sepulang dari tanah suci, Sanghyang Borosngora mendapat
julukan Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa Ulama. Tiba di kampung halamannya
Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata telah meninggal dunia. Borosngora
kemudian berniat menurunkan ilmunya dan menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat
Pajajaran Girang dan Pajajaran Tengah, karena itu Borosngora mengembara ke
nagari Sancang dan tanah Jampang.
Pada hitungan windu pertama, Sanghyang Borosngora melakukan
perjalanan kunjungan ke tanah leluhurnya di Karantenan Gunung Sawal, nagari
Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung Wayang, Gunung Kendan (Galuh
Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari Wanayasa Rajamantri, Bayabang
(menemui Kyai Nagasasra), Paringgalaya (sekarang sudah terbenam oleh Waduk
Jatiluhur) dan kemudian kembali ke Gunung Wayang.
Pada windu kedua ia berangkat ke Jampang Wetan, Gunung
Patuha, Gunung Pucung Pugur, Pasir Bentang, Gunung Masigit, Pager Ruyung,
Pagelarang, Jampang Tengah, Curug Supit, Cihonje, Teluk Ratu, Gunung Sunda,
Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas di Sela Kancana,
Cipanengah, Cimandiri.
Windu ketiga Sanghyang Borosngora pergi ke Jampang Tengah
mendirikan padepokan di Hulu Sungai Cikaso, Taman Mayang Sari (kuta jero),
Jampang Kulon. Di tempat ini ia dikenal dengan nama Haji Soleh dan Haji Mulya.
Setelah itu ia kembali ke Cipanengah, Gunung Rompang, di tempat ini ia dikenal
sebagai Syeikh Haji Dalem Sepuh.
Sanghyang Borosngora menikahi seorang gadis yatim, cucu
angkat Kanjeng Kiai Cinta Linuwih di Gunung Wayang. Gadis yatim ini adalah
turunan langsung Senapati Amuk Murugul Sura Wijaya, Mantri Agung Mareja, wakil
Sri Maharaja Pajajaran untuk wilayah Cirebon Girang dan Tengah.
Padaa windu ketiga, ia memiliki dua orang putra yaitu
Hariang Sancang Kuning dan Pangeran Hariang Kancana. Sanghyang Borosngora hidup
sampai usia lanjut, ia wafat setelah dari Gunung Rompang serta dimakamkan di
suatu tempat di tepi Sungai Cileuleuy, Kp Langkob, Desa Ciambar, Kecamatan
Nagrak, Sukabumi.
Putra cikalnya yaitu Hariang Sancang Kuning melakukan napak
tilas perjalanan mendiang ayahnya ke Pajajaran Girang dan Tengah, kemudian ke
Singacala (Panjalu). Ia wafat dan dimakamkan di Cibungur, selatan Panjalu.
Salah seorang keturunannya yang terkenal adalah Raden Alit atau Haji Prawata
Sari yang gigih menentang penjajah Belanda. Ia dikenal sebagai pemberontak yang
sangat ditakuti berjuluk "Karaman Jawa". Sedangkan adik Sancang
Kuning yakni Pangeran Hariang Kancana menjadi Adipati Singacala kemudian hijrah
ke Panjalu, setelah wafat ia dimakamkan di Giri Wanakusumah, Situ Panjalu.
Pertemuan para raja di Gunung Rompang
Pada suatu masa beberapa orang raja dan adipati dari bekas
kawasan Pajajaran tengah dan Pajajaran girang yang mencakup wilayah Cianjur,
Sukabumi dan sekitarnya berkumpul di puncak gunung yang biasa dipakai sebagai
lokasi musyawarah oleh para raja dan adipati yaitu di Gunung Rompang (dalam
bhs. Sunda istilah rompang menunjukan keadaan senjata pedang, golok atau pisau
yang sudah retak bergerigi karena terlalu sering dipakai). Dinamai Gunung
Rompang karena pada masa akhir berdirinya kerajaan Sunda Pajajaran setelah
melewati perang selama 50 tahun, senjata para prajurit Pajajaran telah menjadi
rompang karena dipakai bertempur terus-menerus.
Lokasi ini dikenal juga sebagai "Karamat
Pasamoan", adapun tokoh-tokoh yang hadir pada pertemuan itu adalah :
1. Syeikh Dalem Haji Sepuh Sang Prabu Jampang Manggung yang
berasal dari negeri Singacala (Panjalu) bawahan Galuh, di tanah Pajampangan ia
dikenal dengan berbagai julukan yaitu sebagai Syeikh Haji Mulya, Syeikh Haji
Sholeh, dan Syeikh Aulia Mantili.
2. Kanjeng Aria Wira Tanu Cikundul atau Pangeran Jaya
Lalana, bergelar Raden Ngabehi Jaya Sasana, Pangeran Panji Nata Kusumah.
3. Raden Sanghyang Panaitan atau Raden Widaya bergelar
Pangerang Rangga Sinom di Sedang, Kanjeng Adipati Sukawayana.
4. Raden Adipati Lumaju Gede Nyilih Nagara di Cimapag.
5. Kanjeng Kyai Aria Wangsa Merta dari Tarekolot,
Cikartanagara.
6. Kanjeng Dalem Nala Merta dari Cipamingkis.
7. Pangeran Hyang Jaya Loka dari Cidamar.
8. Pangeran Hyang Jatuna dari Kadipaten Kandang Wesi.
9. Pangeran Hyang Krutu Wana dari Parakan Tiga.
10. Pangeran Hyang Manda Agung dari Sancang.
Tujuan pertemuan para raja ini adalah untuk membahas
keinginan para raja dan adipati untuk menjalin kerjasama yang lebih erat
terutama dalam usaha menangkal serangan musuh dari luar. Untuk itu dibutuhkan
adanya seorang pemimpin yang tangguh, pemimpin yang memegang tangkai, yang
disebut sebagai Raja Gagang (Raja pemegang tangkai). Prabu Jampang Manggung
mengusulkan agar Aria Wira Tanu Dalem Cikundul yang ditunjuk sebagai Raja Gagang,
dan usul ini diterima oleh semua tokoh yang hadir.
Akhirnya, setelah menjalankan Shalat Jum'ah yang bertepatan
dengan bulan purnama Rabiul Awal 1076 H atau 2 September 1655 berdiri negeri
Cianjur yang merupakan negeri merdeka dan berdaulat, tidak tunduk kepada
Kompeni, Mataram maupun Banten, hanya tunduk kepada Allah SWT. Negeri ini
dipimpin oleh Aria Wira Tanu, Dalem Cikundul sebagai Raja Gagang.
Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari
Raden Haji Alit Prawatasari adalah seorang ulama dari
Jampang yang juga merupakan keturunan Sancang Kuning dari Singacala (Panjalu).
Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari dimulai pada bulan Maret 1703 dan
terjadi sangat dahsyat. Haji Prawatasari sanggup memobilisasi rakyat menjadi
pasukannya sebanyak 3000 orang sehingga membuat VOC kalang kabut. Pada suatu
ketika tersebar berita bahwa RH Alit Prawatasari telah tewas. Pieter Scorpoi
komandan pasukan VOC segera saja menawan dan menggiring seluruh warga Jampang
yang mencapai 1354 orang untuk menjalani hukuman di Batavia melewati Cianjur.
Tujuan VOC tidak lain adalah untuk menghancurkan semangat
dan kekuatan pengikut RH Alit Prawatasari. Penduduk Jampang yang berbaris
sepanjang jalan itu sebagian besar tewas diperjalanan, yang tersisa hanyalah
582 orang dengan kondisi yang menyedihkan, mereka kemudian digiring terus
menuju ke Bayabang.
Pada waktu itu sesungguhnya RH Alit Prawatasari tidak tewas
melainkan sedang mengumpulkan wadya balad (pengikut) yang sangat besar, ia
kemudian memimpin penyerbuan ke kabupaten priangan wetan (timur). Pada tahun
1705 RH Alit Prawatasari muncul lagi di Jampang dan kemudian mengepung
sekeliling Batavia, pada sekitar Januari di dekat Bogor.
Dikarenakan VOC tak mampu menangkap RH Alit Prawatasari,
tiga orang tokoh masyarakat yang ditangkap di Kampung Baru, Bogor dieksekusi
mati oleh VOC. Pada bulan Maret RH Alit Prawatasari membuat kekacauan di
Sumedang utara, kemudian pada Agustus 1705 RH Alit Prawatasari berhasil
mengalahkan pasukan Belanda yang mencoba mengejar dan menangkapnya melalui tiga
kali pertempuran.
Akibat kegagalan-kegalannya menangkap RH Alit Prawatasari,
maka VOC menjatuhkan hukuman berat kepada siapa saja yang disangka membantu RH
Alit Prawatasari, namun jumlah pengikutnya bukan berkurang malah semakin
bertambah banyak karena rakyat bersimpati kepada perjuangannya.
Pihak Belanda lalu mengeluarkan ultimatum dan tenggat waktu
selama enam bulan kepada para bupati di Tatar Sunda agar menangkap RH Alit
Prawatasari. Pada tahun 1706 RH Alit Prawatasari meninggalkan Tatar Sunda
menuju ke Jawa Tengah. RH Alit Prawatasari akhirnya tertangkap di Kartasura
setelah ditipu oleh Belanda pada tangal 12 Juli 1707.
Makam pahlawan yang terlupakan ini terletak di Dayeuh Luhur,
Cilacap. Penduduk setempat menyebutnya sebagai makam turunan Panjalu, makamnya
ini sampai sekarang masih sering diziarahi oleh penduduk sekitar dan peziarah
dari Ciamis.
Prabu Rahyang Kuning
Rahyang Kuning menggantikan Sanghyang Borosngora menjadi
Raja Panjalu, akibat kesalahpahaman dengan adiknya yang bernama Rahyang Kancana
sempat terjadi perseteruan yang akhirnya dapat didamaikan oleh Guru Aji Kampuh
Jaya dari Cilimus. Rahyang Kuning kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan
tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana.
Menurut Babad Panjalu, perselisihan ini dikenal dengan
peristiwa Ranca Beureum. Peristiwa ini terjadi sewaktu Prabu Rahyang Kuning
bermaksud menguras air Situ Lengkong untuk diambil ikannya
(Sunda:ngabedahkeun). Rahyang Kuning mengutus patih kerajaan untuk menjemput
sang ayah Sanghyang Borosngora di Jampang Manggung agar menghadiri acara itu.
Namun karena Sanghyang Borosngora berhalangan, maka ia menunjuk Rahyang Kancana
untuk mewakili sang ayah menghadiri acara tersebut.
Berhubung hari yang telah ditentukan untuk perayaan itu
semakin dekat, Rahyang Kuning memerintahkan para abdinya untuk mulai membobol
Situ Lengkong sambil menunggu kedatangan ayahnya, air pembuangannya dialirkan
melalui daerah jalan Sriwinangun sekarang. Sang Prabu turun langsung memimpin
para abdi dan rakyatnya berbasah-basahan di tengah cuaca dingin di pagi buta
itu. Untuk sekedar menghangatkan badan, Rahyang Kuning menyalakan api unggun
sambil berdiang menghangatkan telapak tangannya menghadap ke arah barat.
Pada saat yang bersamaan dari arah barat, sang adik Rahyang
Kancana bersama rombongan pasukan pengawalnya tiba di sekitar daerah
Sriwinangun yang akan dilewati dan terkejut mendapati Situ Lengkong telah mulai
dikeringkan tanpa menunggu kedatangannya sebagai wakil sang ayah. Rahyang
Kancana yang tersinggung lalu membendung saluran pembuangan air itu dengan
tergesa-gesa. Akibatnya meskipun sudah dibendung, tetapi tempat itu masih
dipenuhi rembesan air dan gundukan tanah tak beraturan sehingga sampai sekarang
tempat itu dikenal dengan nama Cibutut (Bhs. Sunda: butut artinya jelek).
Rahyang Kuning yang tengah menghangatkan telapak tangannya
menghadapi api unggun terkejut melihat kedatangan Rahyang Kancana bersama
pasukan pengawalnya yang dipenuhi emosi. Sebaliknya Rahyang Kancana mengira
kakaknya itu sedang menunggu untuk menantangnya adu kesaktian karena ia telah
membendung air Situ Lengkong supaya tidak kering. Singkat cerita, akibat
kesalahpahaman tersebut terjadilah duel pertarungan antara Rahyang Kancana
bersama pasukan pengawalnya melawan Rahyang Kuning bersama pasukan pengawal
kerajaan, akibat pertempuran itu banyak korban yang berjatuhan dari kedua belah
pihak, akibatnya sebuah ranca (rawa atau danau dangkal) airnya menjadi berwarna
merah oleh genangan darah sehingga sampai sekarang dikenal dengan nama Ranca
Beureum (Bhs. Sunda: beureum artinya merah).
Perang saudara ini baru berakhir setelah didamaikan oleh
Guru Aji Kampuhjaya, ulama kerajaan yang sangat dihormati sekaligus sahabat
Prabu Sanghyang Borosngora. Rahyang Kuning yang menyesal karena telah
menimbulkan perselisihan tersebut menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang
Kancana dan meninggalkan kaprabon lalu mengembara ke wilayah selatan Galuh.
Rahyang Kuning di akhir hayatnya menjadi Raja di Kawasen
(Ciamis Selatan), jasadnya dibawa pulang ke Panjalu dan dimakamkan di
Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala, Kecamatan Panjalu.
Prabu Rahyang Kancana
Rahyang Kancana melanjutkan tahta Panjalu dari kakaknya,
untuk melupakan peristiwa berdarah perang saudara di Ranca Beureum ia
memindahkan kaprabon dari Nusa Larang ke Dayeuh Nagasari, sekarang termasuk
wilayah Desa Ciomas Kecamatan Panjalu.
Rahyang Kancana mempunyai dua orang putera yaitu:
1) Rahyang Kuluk Kukunangteko, dan
2) Rahyang Ageung.
Prabu Rahyang Kancana setelah mangkat dipusarakan di Nusa
Larang Situ Lengkong. Pusara Prabu Rahyang Kancana sampai sekarang selalu ramai
didatangi para peziarah dari berbagai daerah di Indonesia.
Prabu Rahyang Kuluk Kukunangteko
Rahyang Kuluk Kukunangteko menggantikan Rahyang Kancana
menduduki tahta Panjalu, ia didampingi oleh adiknya yang bernama Rahyang Ageung
sebagai Patih Panjalu. Sang Prabu mempunyai seorang putera bernama Rahyang
Kanjut Kadali Kancana.
Pusara Rahyang Kuluk Kukunangteko terletak di Cilanglung,
Simpar, Panjalu.
Prabu Rahyang Kanjut Kadali Kancana
Rahyang Kanjut Kadali Kancana menggantikan ayahnya sebagai
Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kadacayut Martabaya.
Rahyang Kanjut Kadali Kancana setelah mangkat dipusarakan di Sareupeun
Hujungtiwu, Panjalu.
Prabu Rahyang Kadacayut Martabaya
Rahyang Kadacayut Martabaya naik tahta menggantikan ayahnya,
ia mempunyai seorang anak bernama Rahyang Kunang Natabaya.
Rahyang Kadacayut Martabaya jasadnya dipusarakan di
Hujungwinangun, Situ Lengkong Panjalu.
Prabu Rahyang Kunang Natabaya
Rahyang Kunang Natabaya menduduki tahta Panjalu menggantikan
ayahnya, ia menikah dengan Nyai Apun Emas. Nyai Apun Emas adalah anak dari Nyai
Tanduran di Anjung (Apun di Anjung) yang menikah dengan Prabu di Galuh Cipta
Permana (1595-1608), jadi Apun Emas adalah saudari dari Bupati Galuh Adipati
Panaekan (1608-1625). Sementara Nyai Tanduran di Anjung adalah puteri Maharaja
Kawali.
Dari perkawinannya dengan Nyai Apun Emas, Prabu Rahyang
Kunang Natabaya mempunyai tiga orang putera yaitu :
1) Raden Arya Sumalah,
2) Raden Arya Sacanata, dan
3) Raden Arya Dipanata (kelak diangkat menjadi Bupati
Pagerageung oleh Mataram).
Pada masa kekuasaan Prabu Rahyang Kunang Natabaya ini,
Panembahan Senopati (1586-1601) berhasil menaklukkan Cirebon beserta
daerah-daerah bawahannya termasuk Panjalu.
Pusara Prabu Rahyang Kunang Natabaya terletak di Ciramping,
Desa Simpar, Panjalu.
Raden Arya Sumalah
Arya Sumalah naik tahta Panjalu bukan sebagai Raja, tapi
sebagai Bupati di bawah kekuasaan Mataram. Ia menikah dengan Ratu Tilarnagara
puteri dari Bupati Talaga yang bernama Sunan Ciburuy atau yang dikenal juga
dengan nama Pangeran Surawijaya, dari pernikahannya itu Arya Sumalah mempunyai
dua orang anak, yaitu:
1) Ratu Latibrangsari dan
2) Raden Arya Wirabaya.
Arya Sumalah setelah wafat dimakamkan di Buninagara Simpar,
Panjalu.
Pangeran Arya Sacanata atau Pangeran Arya Salingsingan
Raden Arya Sumalah wafat dalam usia muda dan meninggalkan
putera-puterinya yang masih kecil. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan di
Kabupaten Panjalu Raden Arya Sacanata diangkat oleh Sultan Agung (1613-1645)
sebagai Bupati menggantikan kakaknya dengan gelar Pangeran Arya Sacanata.
Pangeran Arya Sacanata juga memperisteri Ratu Tilarnagara
puteri Bupati Talaga Sunan Ciburuy yang merupakan janda Arya Sumalah. Pangeran
Arya Sacanata mempunyai banyak keturunan, baik dari garwa padminya yaitu Ratu
Tilarnagara maupun dari isteri-isteri selirnya (ada sekitar 20 orang anak),
anak-anaknya itu dikemudian hari menjadi pembesar-pembesar di tanah Pasundan.
Dua belas diantara putera-puteri Pangeran Arya Sacanata itu
adalah:
1) Raden Jiwakrama (Cianjur),
2) Raden Ngabehi Suramanggala,
3) Raden Wiralaksana (Tengger, Panjalu),
4) Raden Jayawicitra (Pamekaran, Panjalu),
5) Raden Dalem Singalaksana (Cianjur),
6) Raden Dalem Jiwanagara (Bogor),
7) Raden Arya Wiradipa (Maparah, Panjalu),
Nyi Raden Lenggang,
9) Nyi Raden Tilar Kancana,
10) Nyi Raden Sariwulan (Gandasoli, Sukabumi),
11) Raden Yudaperdawa (Gandasoli, Sukabumi), dan
12) Raden Ngabehi Dipanata.
Putera Sultan Agung, Sunan Amangkurat I (1645-1677) pada
tahun 1656-1657 secara sepihak mencopot jabatan Pangeran Arya Sacanata sebagai
Bupati Panjalu yang diangkat oleh Sultan Agung serta menghapuskan Kabupaten
Panjalu dengan membagi wilayah Priangan menjadi 12 Ajeg; salah satunya adalah
Ajeg Wirabaya yang meliputi wilayah Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang
serta dikepalai oleh keponakan sekaligus anak tirinya yaitu Raden Arya Wirabaya
sehingga membuat Pangeran Arya Sacanata mendendam kepada Mataram.
Suatu ketika Pangeran Arya Sacanata ditunjuk oleh mertuanya
yang juga Bupati Talaga Sunan Ciburuy untuk mewakili Talaga mengirim seba
(upeti) ke Mataram. Pada kesempatan itu Pangeran Arya Sacanata menyelinap ke
peraduan Sinuhun Mataram dan mempermalukanya dengan memotong sebelah kumisnya
sehingga menimbulkan kegemparan besar di Mataram. Segera saja Pangeran Arya
Sacanata menjadi buruan pasukan Mataram, namun hingga akhir hayatnya Pangeran
Arya Sacanata tidak pernah berhasil ditangkap oleh pasukan Mataram sehingga ia
mendapat julukan Pangeran Arya Salingsingan (dalam Bahasa Sunda kata
"salingsingan" berarti saling berpapasan tapi tidak dikenali).
Pangeran Arya Sacanata menghabiskan hari tuanya dengan
meninggalkan kehidupan keduniawian dan memilih hidup seperti petapa
mengasingkan diri di tempat-tempat sunyi di sepanjang hutan pegunungan dan
pesisir Galuh. Mula-mula ia mendirikan padepokan di Gandakerta sebagai
tempatnya berkhalwat (menyepi), Sang Pangeran kemudian berkelana ke Palabuhan
Ratu, Kandangwesi, Karang, Lakbok, kemudian menyepi di Gunung Sangkur, Gunung
Babakan Siluman, Gunung Cariu, Kuta Tambaksari dan terakhir di Nombo,
Dayeuhluhur. Pangeran Arya Sacanata wafat dan dipusarakan di Nombo, Kecamatan
Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Raden Arya Wirabaya
Sewaktu Sunan Amangkurat I berkuasa (1645-1677) pada sekitar
tahun 1656-1657 wilayah Mancanagara Kilen (Mataram Barat) dibagi menjadi dua
belas Ajeg (daerah setingkat kabupaten) serta menghapuskan jabatan Wedana
Bupati Priangan, keduabelas Ajeg itu adalah: Sumedang, Parakan Muncang (Bandung
Timur), Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), Karawang, Imbanagara (Ciamis), Kawasen
(Ciamis Selatan), Wirabaya (Ciamis Utara termasuk Kabupaten Panjalu, Utama dan
Bojonglopang), Sindangkasih (Majalengka), Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen,
Cilacap) dan Banjar (Ciamis Timur).
Pada waktu itulah Arya Wirabaya diangkat oleh Sunan
Amangkurat I menjadi Kepala Ajeg Wirabaya sekaligus menggantikan Pangeran Arya
Sacanata yang tidak lagi menjabat Bupati karena Kabupaten Panjalu telah
dihapuskan dan dimasukkan kedalam Ajeg Wirabaya........bersambung engke
deui....
Buku Palsapah Sanghyang Boros ngora bisa di pesan di SKKS, melalui Sdr. Asep Suparman.
BalasHapus