3. Ratu Dewata (1535 - 1543)
Surawisesa digantikan oleh puteranya (RATU DEWATA). Berbeda
dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa
dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan
upacara SUNATAN (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa PWAH-SUSU (hanya
makan buah-buahan dan minum susu). Menurut istilah kiwari VEGETARIAN.
Resminya perjanjian perdamaian PAJAJARAN - CIREBON masih
berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai TUNGGUL NEGARA ia harus tetap
bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk POLITIK.
Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut menandatangani
perjanjian perdamaian Pajajaran - Cirebon, akan tetapi itu dia lakukan hanya
karena kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan jati) yang melihat
kepentingan Wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum. Secara pribadi Hasanudin
kurang setuju dengan perjanjian itu karena wilayah kekuasaannya berbatasan
langsung dengan Pajajaran. Maka secara diam-diam ia membentuk pasukan khusus
tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. [Kemampuan pasukan Banten
dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan
merupakan catatan khusus Belanda, terutama gerakan pasukan SYEKH YUSUF].
Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi
serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh "tambuh sangkane"
(tidak dikenal asal-usulnya).
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira
yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran
perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Disamping itu,
ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat
Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan.
[Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi RANAMANDALA (medan pertempuran)
mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya]
Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati
Pajajaran gugur, yaitu TOHAAN RATU SANGIANG dan TOHAAN SARENDET.
[Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga
yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh.
Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia
berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali
dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas
pada jaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara
Kretabhuni I/2 yang isinya antara lain (artinya saja) "Sang Maharaja
membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya,
membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh
kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya
untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat.
Kemudian membuat KAPUTREN (tempat isteri-isteri-nya), KESATRIAN (asrama
prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan memperkuat
angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa
dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
AMATEGUH KEDATWAN (memperteguh kedatuan) sejalan dengan
maksud "membuat parit" (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja
karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atai kedatuan, melainkan kata
amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini KOTA RAJA. Jadi sama
dengan Pakuan dalam arti ibukota.
Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada
posisi yang disebut LEMAH DUWUR atau LEMAH LUHUR (dataran tinggi, oleh Van
Riebeeck disebut "bovenvlakte"). Pada posisi ini, mereka tidak
berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit. {Pasir Muara di
Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi 3 batang
sungai pernah dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa ratus
tahun sebelum masehi} Lokasi Pakuan merupakan lahan Lemah Duwur yang satu
sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane
dan Cipaku merupakan pelindung alamiah. {Tipe Lemah Duwur biasanya dipilih sama
masyarakat dengan latar belakang kebudayaan LADANG. Kota-kota yang seperti ini
adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kota seperti ini biasanya dibangun dengan
konsep berdasarkan pengembangan PERKEBUNAN. Tipe lain adalah apa yang disebut
GARUDA NGUPUK. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar
belakang KEBUDAYAAN SAWAH. Mereka menganggap bahwa lahanyang ideal untuk pusat
pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di
balik pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya Garut,
Bandung dan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua persyaratan tipe ini. Kutamaya
dipilih oleh Pangeran Santri menurut idealisme PESISIR CIREBON karena ia orang
SINDANGKASIH (MAJALENGKA) yang selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru pada waktu
kemudian Sumedang dikukuhkan dengan pola Garuda Ngupuk pada lokasi Pusat Kota
Sumedang yang sekarang}]
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan
cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedeng,
Ciranjang dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa Kawikuan yang
dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma
kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus "memerintah dengan
baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan
setelah turun tahta dan menempuh kehidupan MANURAJASUNIYA seperti yang telah
dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis
Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca) "Nya
iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan" (Maka
berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa)
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman
Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis
kemudian berkomentar pendek "Samangkana ta precinta" (begitulah jaman
susah).
4. Ratu Sakti (1543 - 1551)
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi
keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap
keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan
melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu
salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa
rasa malu sama sekali. Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan
Dewa Niskala yaitu mengawini "estri larangan ti kaluaran" (wanita pengungsi
yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap
ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta
kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin
dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu Pasurua dan Panarukan.
Setelah meninggal, Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan.
5. Ratu Nilakendra (1551 - 1567)
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa
Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan
frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan
memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan
pepelakan" (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila
tidak bertanam sesuatu) Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan
telah berjangkit.
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan
yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat
telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan
TANTRA. Aliran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan
sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di
sekitarnya. Seringkali, untuk mempercepat keadaan tidak sadar itu, digunakan
meinuman keras yang didahului dengan pesta pora makanan enak. "Lawasnya
ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup
ka sangkan beuanghar" (Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan,
tiada ilmu yang disenaginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan
tingkat kekayaan).
Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun
taman dengan jalur-jalur berbatu ("dibalay") mengapit gerbang
larangan. Kemudian membangun "rumah keramat" (bale bobot) sebanyak 17
baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.
Mengenai musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut
ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah "bendera keramat"
("ngibuda Sanghiyang Panji"). Bendera inilah yang diandalkannya
menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam menghadapi Laskar
Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya nasib Nilakendra
dikisahkan
"alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan"
(kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton)
[Nilakendra sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten
dan bila diteliti isi buku Sejarah Banten tentang serangan ke Pakuan yang
ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya Yusuf, dapatlah disimpulkan,
bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera Mahkota Yusuf]
[Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan
Jati masih hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun
kemudian]. Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh
raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang
ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.
6. Raga Mulya (1567 - 1579)
Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut
Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut RAGA MULYA
alias PRABU SURYAKANCANA. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di
Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan)
Pulasari. [Mungkin raja ini berkedudukan di Kadu-hejo, Kecamatan Menes pada
lereng Gunung Palasari]
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2,
"Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus
punjul siki ikang Cakakala" (Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian
terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579
M.
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten
ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam PUPUH KINANTI (artinya saja)
"Waktu keberangkatan itu
terjadi bulan Muharam
tepat pada awal bulan
hari Ahad tahun Alif
inilah tahun Sakanya
satu lima kosong satu"
Walaupun tahun Alief baru digunakan oleh Sultan Agung
Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan
Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari,
sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari
Sabtu.
Yang terpenting dari naskah Banten tersebut adalah
memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi
"penghianatan". Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati
karena "tidak memperoleh kenaikan pangkat". Ia adalah saudara Ki
Jongjo (seorang kepercayaan Panembahan Yusuf). Tengah malam, Ki Jongjo bersama
pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu
dibukakan oleh saudaranya itu. [Kisah itu mungkin benar mungkin tidak. Yang
jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat
Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih
terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya]
Berakhirlah jaman Pajajaran (1482 - 1579), ditandai dengan
diboyongnya PALANGKA SRIMAN SRIWACANA (Tempat duduk tempat penobatan tahta)
dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran
200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu
itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka
tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan
memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang
"sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Dalam Carita Parahiyangan di beritakan sebagai berikut:
"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka
Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu
Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan
Sanghiyang Sri Ratu Dewata
(Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta
Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu
penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri
Bima
Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana
Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk
(pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah TAHTA NOBAT yaitu
tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas
Palangka itulah ia diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada
di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu
terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh
penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang (bila kebetulan
dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa). Batu Pangcalikan bisa
ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik,
Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan
Galuh di Ciamis. Sementara Batu Ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di
Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang
terjepit pohon).
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di
depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten
menyebutnya WATU GIGILANG. Kata Gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama
artinya dengan kata Sriman]
---
Mengapa bekas Pakuan itu kosong tanpa penghuni ketika
ditemukan oleh Scipio
dalam tahun 1687?
Tidak ada komentar :
Posting Komentar